Mengajar Berkeadilan pada Anak Difable di Kelas Biasa

Awal Tahun Pelajaran 2018/2019 sebuah sejarah bagi saya, karena pada awal tahun pelajaran ini saya pindah sekolah ke dekat rumah. Awalnya saya bertugas sebagai guru SD di luar kecamatan tepatnya di sebuah kecamatan dengan jarah kurang lebih 12 km dari rumah. 

Pertama bertugas di sekolah baru saya ditempatkan di kelas IV A, dimana situasi kelas lumayan gaduh, ada kurang fokus pada pembelajaran, yang menjadi tantangan lagi adalah semua siswa belum hafal benar perkalian, bahkan ada yang belum bisa perkalian 2 juga. Ada beberapa siswa kurang lancar membaca, dan satu orang belum bisa membaca dengan merangkai huruf menjadi kata. Dari tulis saya perhatikan banyak siswa yang menulisnya, maaf dibanding anak TK mungkin sama, tidak terbaca, apalagi tulisan indah masih jauh. Saya sempat berpikir bagaimana menjadikan siswa ini berprestasi? Dapat meraih juara di event-event lomba akademik siswa. Yang menjadi beban sangat berat adalah janji saya pada kepala sekolah baru ingin menjadikan sekolah ini juara event bergengsi lomba siswa, yaitu Olimpiade Siswa Nasional (OSN) baik bidang mata pelajaran Matematika maupun IPA. Bukan berlebihan, karena di tempat tugas yang lama saya selalu menjadikan siswa di sekolah itu juara 1 atau 2 OSN dan mewakili ke kabupaten bahkan ke provinsi.

Tapi apalah dikata, saya harus membuktikan bahwa kelas saya berprestasi, walaupun berat dengan melihat kondisi seperti ini. Bahkan untuk konsep dasar matematika penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian apalagi konsep matematika lain seperti pecahan, luas, volume dan lain-lain sungguh mustahil untuk menjadi juara di event OSN.

Apalagi ada salah satu siswa perempuan yang difable. berbicara saja sudah sulit difahami, bukan hanya oleh saya sebagai guru baru, akan tetapi oleh temannya juga yang sudah 3 tahun lebih bersamanya tidak memahami perkataannya. Saya sering bertanya pada temannya apa yang dimaksud oleh anak itu, teman yang lain menggelengkan kepala "Tidak tahu pak".

Dilihat dari tulisannya siswa itu belum begitu terbaca, membaca ya... saya tidak tahu anak itu b isa membaca atau tidak, karena bicaranya saja saya tidak faham, apalagi mengetes dia membaca. Berhitung jangan ditanya bisa magteri kelas 4, oenjumlahan satu angka saja banyak yang salah.

Saya coba mencari tahu pada guru yang lain tentang siswa ini. Saya tanyakan kenapa anak ini tidak ke SLB saja sekolahnya, mungkin disana gurunya dapat berkomunikasi dengan basa isyarat. Jujur saya tidak memahami bahasa isyarat yang diginakan oleh guru SLB. Jawaban guru lain adalah ketika disampaikan pada orang tuanya malah marah, ya sekolah dengan berat hati menerimanya dengan catatan setiap tahunnya dinaikkan dengan tidak melihat nilai tes siswa itu.

Di sini saya berfikir semua siswa saya kelas 4 adalah makhluk sosial yang akan berinteraksi dengan yang lainnya, juga dalam penguasaan ilmu pengetahuan sebagai bekal mereka kelak ketika sudah terjun di masyarakat. Akan tetapi bagaimana dengan tuntutan ketercapaian kurikulum? Dengan materi kelas 4 yang sudah pada konsep-konsep aplikatif, baik membaca, menulis dan berhitung. Membaca saja masih belum lancar, apalagi memahami isi bacaan. Penjumlahan dan perkalian saja belum dikuasai apalagi pada konsep matematika selanjutnya.

Setelah merenung dan menganalisis langkah apa yang saya gunakan untuk proses pembelajaran di kelas baru saya ini, saya memutuskan untuk mengajar sesuai kemampuan mereka, bukan mengajar sesuai kurikulum. Alasannya, jika mengejar kurikulum malah akan semakin tertekan mereka, sementara konsep dasar saja mereka belum menguasai betul. Apalagi anak yang difable tadi. Saya berikan tugas menulis huruf demi huruf, penjumlahan satuan seperti kelas 1, kalau membaca sampai saat ini saya merasa kebingungan karena kurang paham dengan perkataanna, yang keluar hanya bunyi aa ii uu oo.

Untuk siswa lainnya juga mulai belajar perkalian dengan cara talaran jari tangan, yaitu metode menguasai perkalian gabungan hafalan dan konsep perkalian merupakan penjumlahan berulang. Menulis saya tugaskan dikerjakan di rumah menulis cetak beberapa kata pada garis enam. Sementara membaca saya panggil satu satu di sela tugas membaca dengan dibimbing kata per kata. Saya tidak lagi mengejar kurikulum apalagi prestasi siswa pada event minimal kecamatan. Saya saya harapkan adalah ketika nanti ke kelas 5 siswa sudah lancar membaca, bisa menulis rapih dan terbaca, dan menguasai berhitung dasar. 

Karena pendidikan ini perlu berkeadilan, keinginan mengejar target kurikulum, tapi kesempatan siswa untuk menguasai ilmu yang seharusnya dari dasar dulu terabaikan. Semoga mereka dapat mengejar materi kelas 4 seperti kelas 4 yang lainnya.

Pengalaman yang menantang dan menguras pikiran, semoga menjadi berkah.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama